Unik dan eksotis. Mungkin dua kata itu tidak cukup menggambarkan betapa indahnya bangunan-bangunan tempo dulu di Kota Lama Semarang. Sisa kejayaan Belanda saat menduduki Indonesia masih jelas terlihat. Sentuhan klasik menarik hati untuk menyusuri setiap sudut kota tua, mendengar tembok-tembok bersaksi atas apa yang dulu terjadi.
Memasuki jalan di pinggir Kota Lama, mata ini disambut oleh sebuah bangunan putih memanjang yang bertuliskan Pabrik Rokok Praoe Lajar. Saya teringat dahulu, di warung-warung desa, saya sering melihat rokok bertuliskan Praoe Lajar. Rokok yang berbungkus kertas putih bergambar perahu layar. Entah saat ini masih melayarkah rokok tersebut di warung-warung desa sekitar saya. Namun, dengan adanya bangunan pabrik rokok tersebut yang masih kokoh berdiri, rasanya terjawab, asap rokok cap tersebut masih mengepul di tanah Jawa.
Begitu memarkir kendaraan, saya langsung takjub dengan bangunan-bangunan di kota lama ini. Setiap bangunan seperti sudah ditata dengan baik. Beberapa bangunan lama sudah direnovasi, dijadikan kafe, resto, maupun tempat menjual oleh-oleh. Namun, ada juga bangunan yang dibiarkan kosong dan apa adanya.
Seperti sebuah bangunan tua berdinding bata merah dibiarkan apa adanya. Beberapa jendela kayu yang menempel di dinding terlihat usang, semakin rapat karena lama tak terbuka. Akar sebuah pohon yang cukup besar menyatu dengan dinding rumah, menambah misterius ada sejarah apa di balik temboknya. Di sebuah pojok dindingnya hanya menempel papan kayu usang bertuliskan sama dengan bangunan sebelumnya, Pabrik Praoe Lajar.
Tidak jauh dari situ, terdapat sebuah gereja yang menjadi salah satu ikon kota Semarang. Orang menyebutnya gereja blendug (:mblendug), mungkin oleh sebab kubahnya yang membentuk setengah bulatan. Jelas tertulis nama asli gereja tersebut, GPIB Immanuel, sebuah gereja Kristen tertua di Jawa Tengah. Menurut info, gereja ini dibangun oleh Belanda di abad 18. Gereja ini mengingatkan saya pada gereja berkubah biru di Santorini, Yunani yang pernah saya lihat di internet.
Di samping gereja blendug terdapat Taman Srigunting. Sebuah taman kecil yang tertata apik. Di dalam taman terdapat beberapa angkutan yang telah dihias, seperti ontel dan becak bertenaga manusia atau jinrikisha khas Jepang. Anda bisa langsung berpose di atas jinrikisha dengan dipandu oleh penyedianya. Oh ya, untuk berpose dengan properti yang disediakan tersebut kita harus membayar. Tidak mahal sih, sukarela saja. Namun, hampir semua penyedia jasa properti foto menyediakan kotak untuk dana. Saya berpikir, mungkin dana tersebut digunakan untuk biaya perawatan atau menjadi pengganti waktu dan lelahnya tenaga penyedianya.
Di sekitar Taman Srigunting terdapat beberapa lapak yang menyajikan dan menjual barang-barang kuno. Jika ingin mencari uang kuno Indonesia dengan nominal sen atau puluhan, Anda bisa cari di sini. Tapi jangan heran dengan harganya yang mahal. Wajar, sebab harga sepadan dengan sejarahnya. Untuk selembar uang kertas bisa terkena harga Rp300 ribuan. Uang kertas dan koin tersebut rapi disimpan dalam sebuah plastik. Meski menurut saya di Pasar Beringharjo, Yogyakarta lebih lengkap.
Tak hanya itu, kebanyakan pernak-pernik atau hiasan rumah yang ditawarkan berbahan tembaga dan seng enamel. Deretan porselen cina yang cantik dan manis turut memberi nuansa klasik. Tidak ketinggalan, koleksi-koleksi surat berbahasa Belanda, majalah-majalah dan novel era 80-an pun berjajar melengkapi lapak yang berjejer di gang kecil itu. Saya tak ketinggalan membeli novel Adakah Jalan Lain? karangan Jenny Mercelina Laloan, atau La Rose.
Di seberang Taman Srigunting, sebuah bangunan tua masih gagah berdiri. Bangunan memanjang tersebut bergaya timur tengah bercampur eropa. Dindingnya yang berdominasi putih dan merah bata itu dibiarkan rompak di beberapa bagian. Marba, begitu kata yang tertulis di atas pintu utama gedung tersebut. Marba, menurut cerita merupakan singkatan dari pemilik dan pendiri gedung. Marta Bajunet, begitu namanya, seorang konglomerat dari Yaman.
Senja sore saat itu yang begitu cantik menambah suka, mengiri langkah berjalan-jalan di atas kota lama. Sejarah memang tidak bisa diulang, tetapi masih bisa terlihat jejaknya. Suasana nyaman membuat enggan menghentikan langkah di kota tua ini. Saya akan balik lagi, ke Kota Lama ini, membaca kisah dari peristiwa yang pernah terjadi.