Sentilan Politik dalam Genre Sastra yang Apik

 

“Suara hati Ki Jaga Baya semakin yakin, seakan mantab menata masa depan dan semakin yakin bahwa yang dilakukan bukan demi kepentingannya sendiri tetapi demi kepentingan kerajaan, demi kepentingan masa depan rakyat di negeri Antah Berantah.”

 

Itulah sepenggal teks dari cerita pendek yang berjudul Tahta. Cerpen ini adalah satu dari karya Pranowo, kini guru besar Universitas Sanata Dharma (USD), yang termuat dalam antologi cerpen Tahta dan Sang Hyang Kucing terbitan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST). Tahta  memuat cerita Ki Jaga Baya, bawahan Ki Demang Jaga Menir, yang berpendapat bahwa penguasa negeri Antah Berantah sudah sepatutnya digantikan. Pergantian tersebut didasari oleh fakta bahwa Sang Penguasa sudah tidak mampu menjadi penyalur aspirasi rakyat. Telah banyak pula generasi baru yang lebih mumpuni untuk menggantikan kepemimpinannya.

Cerpen lain yang juga berkisah tentang seorang penguasa adalah Sang Hyang Kucing, karya Wahyana Giri, seorang pegiat teater Yogyakarta. Giri mengisahkan Sang Majikan Waru Doyong, sebuah kebun binatang “mapan”, yang kini tengah dililit nafsu. Sang Majikan diketahui telah melakukan penyelewengan konsumsi satwa di kebun binatang itu. Ia juga yang menyunat jatah daging untuk makan para penghuni Waru Doyong. Demonstrasi tidak dapat dibendung. Maka sesuai dengan saran Sang Hyang Kucing, pemimpin keamanan Waru Doyong kepercayaan sang Majikan, diberlakukanlah Normalisasi Kehidupan Kucing. Dengan demikian para kucing-kucing tidak lagi mengeong tentang segala tuntutannya.

Penuturan kisah dalam cerpen-cerpen tersebut cukup menjadi bukti bahwa cerita ini merupakan bentuk sentilan terhadap pemerintahan pada zamannya. Keduanya ditulis pengarang di tahun yang sama, tahun 1988, di mana saat itu stabilitas politik negara ini memang sedang dalam ketidakpastian. Di tahun kepemimpinan Soeharto yang ke-20 itu, regenerasi kepemimpinan mulai dipertanyakan. Kemudian untuk membekukan aktivis di era itu, diberlakukanlah Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Sesaat NKK cukup ampuh untuk mengamankan Sang Penguasa dari tahtanya.

Kisah dalam cerpen Tahta dan Sang Hyang Kucing hanyalah dua contoh cerita yang coba dituturkan pengarang lewat imajinasinya. Tentunya, imajinasi logis tentang sebuah kondisi sosial, ekonomi, bahkan juga politik yang nyata terjadi. Inilah yang tampaknya ingin dimunculkan oleh LPM Pendapa dalam buku kumpulan cerpennya. “Tidak ada tema khusus dalam buku ini. Hanya saja cerpen yang dimuat mewakili kondisi bangsa sebelum reformasi, saat reformasi, dan pascareformasi,” jelas Desi Sri Rahayu, editor Kumpulan Cerpen Tahta dan Sang Hyang Kucing.

Gambar 

Kumpulan Cerpen Majalah Pendapa “Tahta dan Sang Hyang Kucing” yang diterbitkan oleh LPM Pendapa tahun 2013. Foto oleh Ika H.

Buku kumpulan cerpen ini merupakan buku kedua terbitan LPM Pendapa setelah Jogja Dalam Keistimewaan. Adapun tujuan diterbitkannya buku kumpulan cerpen ini yakni untuk memublikasikan cerpen yang pernah termuat dalam majalah Pendapa. Judul buku diambil dari dua buah judul cerpen yaitu Tahta dan Sang Hyang Kucing.

 Taofiq, Pimpinan Umum LPM Pendapa menjelaskan bahwa kedua judul tersebut diambil karena cukup menggambarkan situasi dan kondisi bangsa tentang pergulatan kekuasaan. “Tahta itu mengarah ke kekuasaan. Sang Hyang Kucing menandakan pemimpin yang akhirnya jatuh,” ungkapnya.

Desi dan kawan-kawan harus mengumpulkan kembali arsip-arsip cerpen dari tahun 1988, tahun awal terbit Majalah Pendapa, hingga tahun terbit 2011. Pengumpulan kembali arsip-arsip tersebut sekaligus menjadi kendala bagi mereka. Apalagi beberapa majalah tidak ditemukan arsipnya. “Kami sampai harus pinjam ke alumni, seperti Mas Wahyana Giri untuk kami ketik lagi cerpennya,” ungkap Desi. Kendala ini cukup menyulitkan sehingga agenda penerbitan antologi cerpen yang seharusnya terbit di tahun 2011 menjadi molor dua tahun lamanya.

Dalam waktu enam bulan, akhirnya Desi dan kawan-kawan mampu merampungkan antologi cerpen ini di akhir tahun 2013. Dua puluh lima buah judul cerpen yang disusunnya menjadi persembahan indah LPM Pendapa yang juga menginjak usia ke-25 pada 2013 lalu. Cerpen-cerpen yang masuk sebagian besar ditulis oleh anggota Pendapa sendiri. Meski demikian ada juga cerpen yang ditulis oleh Pranowo, yang kala itu masih menjabat sebagai dosen UST, dan juga Ety Syarifah, seorang guru dari SMAN 1 Muntilan.

Animo menulis rendah

Kumpulan cerpen ini bukanlah rencana akhir bagi Desi, Taofiq, dan kawan-kawan LPM Pendapa lainnya. Desi mengatakan bahwa LPM Pendapa berencana untuk menerbitkan buku kembali. “Inginnya yang menulis kawan-kawan dari LPM Pendapa sendiri dan bukunya tematik,” jelasnya.

Namun, keinginan Desi masih terhalang dengan minimnya partisipasi dari kawan-kawannya. Ia mengaku mahasiswa UST masih apatis sehingga kurang tergerak untuk menghidupi pers kampus. Desi, yang sudah empat tahun menjadi mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UST, berpendapat bahwa jiwa kritis dan kesadaran akan lingkungan sekitar masih jauh dimiliki teman-teman sesama mahasiswa di kampusnya.

Ahmad Mustaqim, alumni LPM Pendapa yang ditemui di sekretariat LPM Pendapa Jalan Batikan No. 02 Komplek Perpustakaan Pusat UST, menuturkan hal yang sama. Menurutnya budaya literasi di UST jauh berbeda dengan kampus lain. “Di kampus UST kurang antusias untuk menulis. Dosen juga jarang menulis di luar,” tambahnya. Hal ini juga yang membuat kawan-kawan LPM Pendapa mengalami kesulitan untuk menentukan siapa yang cocok untuk menulis kata pengantar dalam Tahta dan Sang Hyang Kucing. Namun akhirnya dipilihlah Satmoko Budi Santoso, cerpenis dari luar lingkungan UST.

Meski demikian, Mas Qim, panggilan akrab Ahmad Mustaqim, tetap optimis LPM Pendapa dapat menggerakkan budaya menulis bagi mahasiswa UST. Oleh karena itu, LPM Pendapa sangat terbuka bagi mahasiswa maupun dosen yang ingin menyumbangkan karyanya di majalah Pendapa. “Redaksi mempersiapkan rubrik opini ataupun cerpen untuk diisi oleh non anggota LPM,” jelasnya.

Akhirnya, kumpulan cerpen yang berhasil diterbitkan oleh LPM Pendapa telah membuktikan bahwa pers kampus tidak selalu sarat akan berita-berita politik saja. LPM Pendapa telah mampu menjadi sarana penyalur aspirasi dalam bentuk tulisan bergenre sastra yang segar dan ekspresif. Santai, indah, namun tidak keluar dari permasalahan sosial yang kini jamak terjadi.

 

 

 

 

Tokoh Besar di Atas Mata Uang

 

Jumat, (21/6),  matahari memancarkan sinarnya, melumat setiap jengkal benda di atas bumi. Namun, panasnya yang membakar tidak mengurangi semangat para penjual di Pasar Beringharjo. Denyut ekonomi terus bergerak di bawah terpal-terpal yang menyunggi panasnya matahari. Di sinilah mereka bergantung. Apapun mereka tawarkan. Barang-barang baru, lama, termasuk wajah tokoh bangsa dalam lembaran alat pembayaran.

 

Datang ke Yogyakarta rasanya tidak lengkap tanpa berkunjung ke Malioboro. Terbentang dari Stasiun Tugu hingga Kantor Pos di titik 0 kilometer, Malioboro telah dikenal dengan pedagang-pedagang kaki limanya yang menawarkan kerajinan khas Yogyakarta. Di malam hari, emperannya berubah menjadi resto kaki lima yang menawarkan masakan khas Yogyakarta seperti gudeg, nasi ayam kampung, bebek goreng, dan lain-lain. Malioboro, memang tidak pernah sepi akan segala aktivitas antara penjual dan pembeli.

Satu lagi bagian dari Malioboro yang tidak boleh terlewatkan adalah Pasar Beringharjo. Segala penjual tumpek blek memadati kios-kios pasar. Kesibukan mereka yang tanpa henti bagaikan denyut nadi yang memompa jantung pasar yang dulunya adalah hutan beringin ini. Di sisi depan diwarnai dengan kios-kios yang menjual beragam koleksi batik. Bagian tengah adalah penjual baju, tas, sandal atau sepatu, dan souvenir khas Yogyakarta. Di bagian paling belakang merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk urusan kebutuhan- kebutuhan dapur.

Selesai berkeliling bagian dalam pasar, cobalah untuk menengok sisi utara. Di gang sempit sisi utara Beringharjo, akan dapat kita temukan beberapa pedagang yang menjual barang-barang antik. Barang-barang tersebut ada yang memang benar-benar tua, seperti seterika arang, satu set cangkir-cangkir teh tua, dan foto-foto tua milik Bung Karno ataupun Raja Yogyakarta. Apapun yang antik, tua, dan unik tersaji di sini.

Namun, hal yang tak kalah menarik adalah kita akan menemukan penjual uang lama, baik kertas maupun koin. Uang-uang tersebut adalah uang yang pernah digunakan di Indonesia setelah jaman kemerdekaan, bahkan saat jaman kependudukan Belanda. Beberapa koleksi uang lama yang dijual juga berasal dari negara lain, seperti Belanda, China, dan Malaysia.

Masih dicari

Siang baru saja datang ketika penulis mengunjungi sebuah lapak di utara Pasar Beringharjo. Di gang sempit ini, penjual harus berbagi tempat dengan pemilik kios yang rata-rata emperannya memang digunakan sebagai lapak penjual barang-barang antik ini. Belum lagi jika pasar sedang ramai pengunjung, mereka harus rela memberi jalan bagi calon pembeli maupun pengunjung yang  sekadar melihat-lihat saja.

Di bawah terpal biru, Bu Mar menggelar dagangannya. Ia baru saja membuka lapaknya. Di atas tanah berukuran 2mx1m itu lah ia dan suaminya mencari penghasilan dengan berjualan barang antik dan uang jaman dulu hingga pukul 17.00.

Di atas meja kayu kecil, barang dagangan ibu dua anak ini tertata rapi. Setiap jenis dagangan ia letakkan di tempat yang sama, di dalam ranjang kotak kecil maupun nampan. Lonceng-lonceng besi berbagai ukuran, satu set cangkir teh tua, replika setrika arang berbagai ukuran, hingga mata uang jaman dulu yang semuanya masih tampak layak. Bu Mar tidak mengaku secara jelas dari mana ia mendapatkan barang dagangannya itu. Namun, yang pasti memang ada penyedia yang sesekali menawarkan barangnya untuk dijual di lapak ini.

Tumpukan uang jaman dulu yang rapi di lapak Bu Mar.

Yang paling menarik dari sekian banyak lapak-lapak yang menjual barang yang sama, yaitu mata uang jadul. Jejeran uang-uang kertas Bu Mar ditata rapi di dalam sebuah keranjang merah kecil yang sudah tampak usang. Di situ, warna-warni uang kertas dengan beragam ukuran dan nominal bertumpuk rapi. Uang-uang tersebut dibungkus rapi dengan plastik.

Bu Mar mengakui bahwa uang tersebut masih banyak dicari. “Biasanya dicari untuk mahar nikah. Apalagi kalo yang ganjil-ganjil gitu banyak dicari, Mbak,” jelasnya.

Harganya pun bervariasi. Mulai dari Rp 15.000,00 hingga Rp 100.000,00. Harga-harga tersebut divariasikan sesuai dengan jumlah keberadaannya. Semakin langka dan dicari banyak orang, harganya akan semakin mahal.

Bu Mar pun kemudian memperlihatkan satu album miliknya yang berisi uang-uang kertas. Ia menunjukkan uang kertas bergambar tokoh besar bangsa Indonesia, Jenderal Sudirman dan Ir. Soekarno yang banyak dicari itu. Koleksinya cukup lengkap. Sebagian sama dengan yang telah dijajar di kernjang merah tadi. Hanya saja yang di dalam album kondisi uangnya sudah agak rapuh dan usang. Maklum, uang-uang tersebut sudah ada sejak tahun 1950-an bahkan 1930-an.

Lewat Bu Mar dan penjual uang jadul lainnya, sejarah Indonesia seolah terlihat kembali. Gambar-gambar yang tercetak di atasnya memperlihatkan betapa negeri ini sangat menghargai para pahlawannya.  Bagaimana tidak, sebagian besar uang kertas yang dicetak tidak terlepas dari tokoh-tokoh besar Indonesia dari segala daerah dan segala bidang.  Sebut saja Kapitan Pattimura, Cut Nyak Dien, Pangeran Antasari, I Gusti Ngurah Rai, Ki Hajar Dewantara hingga Soeharto, wajahnya pernah menghiasi alat pembayaran kita ini.

Hingga kini, kesemuanya masih diminati. Baik untuk sekadar hiasan maupun untuk koleksi.  “Yang paling mahal tuh yang gambar Sudirman dan Soekarno. Itu banyak yang nyari dan mulai langka,” ucapnya. Ia mematok harga untuk uang tersebut kisaran Rp 75.000,00 ke atas.

Di atas selembar mata uang inilah terukir kebesaran Indonesia. Tokoh-tokoh yang mendunia, yang berjasa untuk berdirinya negara ini tersemat di antara mata uang yang pernah beredar ke sekuruh penjuru negeri ini. Hingga kini, beberapa di antara mereka ada yang masih menghiasi alat pembayaran sah kita ini. Ini tandanya kita masih menghargai mereka sebagai pembangun bangsa ini. Tentunya, di tengah-tengah kerinduan akan tokoh panutan yang masih kita cari-cari saat ini.*

Waria: Dari Profesi Hingga Prestasi

YOGYA-Senin siang (8/4) saya menuju Proliman, jalan simpang empat di Jalan Yogja-Solo tepatnya traffic light sebelah barat objek wisata Candi Prambanan. Kawasan ini dikenal sebagai tempat mengamennya para waria. Namun tak satu pun waria berada di sana. Justru  hanya ada satu dua pengamen anak jalanan.

Saya kemudian berhenti di sebuah warung yang biasa menjadi tempat istirahatnya para waria. Warung itu tampak sepi. Tak terlihat satu pun pembeli. Bu Bambang, pemilik warung mengatakan bahwa baru saja para waria itu pulang. Padahal jam baru menunjukkan pukul 15.00 WIB.

Dari Bu Bambang, saya mendapatkan informasi tentang tempat tinggal waria Proliman, tepatnya di kampung Sorogenen I, kurang lebih 200m sebelah timur Bandara Adi Sucipto. Memasuki gang sempit, seorang gadis menunjukkan letak rumah Bu Vera, demikian panggilan akrab salah satu pentolan The Wacan, kelompok waria yang beroperasi di daerah Proliman.

Setelah memarkir kendaraan, saya telah disambut oleh seorang pria berdandan ala wanita. Tubuhnya makin terlihat tinggi semampai dengan pakaian dress ungu panjang sepaha yang dikenakannya, stoking hitam panjang dan aksesoris mirip berlian di pinggang, pergelangan tangan, leher dan telinganya.  Rambutnya sebahu hasil rebonding dan berwarna coklat. Ia ramah menyapa dan langsung mempersilakan masuk ke sepetak kamar sewaannya.

Yang Penting Menerima

Vera Indira Dewi, 49 tahun, asal Klaten. Begitulah identitasnya saat ini. Ia tidak menyebutkan nama aslinya. Namun ia bercerita banyak tentang dirinya semasa kecil, pekerjaannya sampai hubungan cintanya dengan seorang laki-laki.

Vera kecil hidup di Palembang bersama kedua orang tua dan tiga kakaknya. Naluri kewanitannya sudah muncul sejak ia kecil. Pada waktu SD, ia lebih memilih bermain kasti bersama teman-teman wanitanya dibandingan bermain sepak bola yang dilakukan teman-teman pria. “Guruku sudah hafal. Kalau olahraga pasti nanyain ‘mau main bola apa kasti?’. Aku jawab ‘kasti’,” jelas pemilik tahi lalat di pipi itu.

Kedua orang tuanya mulai mengetahui sisi kewanitaannya saat Vera kecil menari di atas panggung berdandan wanita. Mulai saat itu orang tuanya mampu memahaminya. “Ya kalau aku boleh pilih, aku gag mau dilahirkan seperti ini. Tapi gimana lagi. Aku dilahirkan sebagai laki-laki. Tapi kaya cuma dititipin raga laki-laki. Aku lebih merasa hatiku ini perempuan,” paparnya secara terbuka. Gerakan dan cara berbicaranya pun gemulai seperti wanita.

Selepas SMA di tahun 1985, ia berkeinginan untuk melanjutkan studinya ke Akademi Perawatan (Akper). Namun orang tuanya tidak mengijinkan. “Kata mereka kalau aku masuk situ (Akper), nanti aku makin menjadi kaya perempuan. Gag masuk situ aja sudah kaya cewek, apalagi jadi masuk situ,” tambahnya.

Di usia 28 tahun, ia mulai menetap di Yogyakarta secara berpindah dan menekuni profesinya. Di Sorogenen sendiri ia sudah tinggal sejak lima tahun lalu. Tak heran jika semua warga sudah mengenalnya. Baginya yang terpenting adalah penerimaan warga secara terbuka, bukan dengan sebelah mata. Namun ia juga sadar, sebagai warga wajib mentaati norma dan berbuat baik kepada warga.

“Warga sini itu baik-baik. Pernah malam-malam aku digodain sama pemuda desa sebelah yang mabuk. Dipukulin lah itu mereka sama orang sini. Sampai Pak RT bilang ‘jangan ganggu, dia wargaku!’ gitu,” jelasnya.

Tak hanya itu, Vera yang suka memasak, membuka usaha katering dengan memberdayakan tetangga sekitar untuk membantunya mengemas katering. Setiap hari ia harus mengantarkan ke beberapa langganan, termasuk pos polisi sekitar bandara.

Dalam interaksi dengan warga sekitar ia merasa nyaman. Hingga ia dan kawan-kawan pernah dipercaya Dinas Sosial (Dinsos) untuk mengisi pelatihan tentang merias wajah, dan membuat pewangi laundry di 36 kelurahan di Yogyakarta. Berangkat dari situ ia membuka usaha rias pengantin dan menyewakan jasa pernikahan mulai dari pakaian, dekorasi sampai hiburan.

 

Ingin Mandiri

Vera mengaku dirinya sudah ingin berhenti dari rutinitasnya sebagai pengurus Iwayo. Setahun lalu ia berencana tidak mau lagi masuk daftar pengurus Iwayo. Namun, kawan-kawannya masih memercayakannya untuk memegang jabatan sekretaris hingga lima tahun ke depan.

Selama dirinya berada di bawah naungan Iwayo, beberapa hal penting pernah dilakukannya. Ia dan kawan-kawan pernah mengusahakan kartu jalan semacam identitas diri agar dapat memasuki daerah Bali dan bisa digunakan jika ingin bepergian ke luar negeri. “Gak banyak lho yang punya kartu kaya gini. Baru 17 waria yang punya,” ucapnya sambil menunjukkan sebuah kartu identitas mirip KTP berwarna ungu. Melalui kartu itu, ia telah dapat bepergian hingga Singapura.

Saat ditanya tentang keinginan rehat dari dunianya saat ini, Vera mengaku secara perlahan akan meninggalkannya. Untuk mengamen sendiri, dirinya telah membatasi lantaran sibuk akan bisnis dan kegiatan organisasinya.

Mulai sekarang, Vera sudah membuka beberapa usaha untuk kemandiriannya di masa pensiunnya. Ia pun membuka angkringan di sekitaran Seturan. “Aku suruh dua anak jalanan yang ngejalanin usaha itu. Kasihan daripada mereka luntang lantung,” tambahnya.

Vera merasa harus hidup mandiri. Kalau bisa ia juga harus dapat membantu kedua kakaknya yang telah memiliki keluarga masing-masing. Tak jarang ia memberikan sangu kepada keponakan-keponakannya, bahkan menyekolahkan mereka. Bagi dirinya menjadi seorang waria bukan berarti lepas dari hubungan keluarga.

Bagaimanapun juga, Vera ingin dirinya mandiri, tidak hanya mencukupi materi bagi dirinya tetapi juga bisa berguna untuk orang lain. Selain itu, dirinya kini juga menjadi pengajar di Pondok Pesantren Waria di Notoyudan, Gedongtengen, Yogyakarta. Sebagai orang yang beragama, dirinya merasa wajib untuk membantu kawan-kawannya sesama waria untuk lebih mengenal agama. “Aku gak mau main-main kalo untuk urasan agama. Kalo ke masjid, aku gak pakai mukena, aku tetap pakai baju koko. Aku gak mau main-main sama hubungan dengan Allah,” ucapnya.

Pemikirannya tersebut sangat bertolak belakang dengan pandangan masyarakat tentang waria selama ini. Bagi sebagian masyarakat yang tidak mengenal waria, menganggap mereka meyalahi kodrat yang diberikan Tuhan. Sebagian ada pula yang merasa risih karena waria suka menggoda dan berpakaian melebihi wanita pada umumnya. Tak jarang memunculkan rasa takut tatkala mereka sering memaksa orang lain memberikan uang setelah dirinya selesai mengamen.

Contohnya saja Indah, mahasiswi Sastra Nusantara, Universitas Gadjah Mada (UGM) mengaku merasa risih saat melihat para waria. “Dandanannya itu lho, riasannya, bajunya juga melebihi cewek biasa,” jelasnya.

Lain halnya dengan alasan yang dikemukakan Nining, mahasiswi Pendidikan Kimia Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Dirinya merasa takut karena kebanyakan waria yang ditemuinya memiliki wajah yang menurutnya menyeramkan akibat suntikan di wajah dan dadanya.

Di akhir obrolan dengan Vera, ia menuturkan pernah beberapa kali mengikuti syuting untuk tayangan televisi. Pertama kali ia dan seorang kawannya yang juga waria pernah diminta untuk membintangi iklan sebuah minuman ringan. Kali kedua, ia juga diminta untuk menjadi salah satu model dalam video klip grup band /Rif.

“Jangan mau, ah, jadi model kaya gitu. Rugi kita. Dibayar murah, tapi sana yang untung. Khan itu diputer terus di TV,” kisahnya.

Itulah sekelumit kisah dari Vera, waria yang punya banyak profesi dan prestasi. Prestasi yang diraih merupakan buah kerja keras, ketekunan, dan semangat yang tak kenal lelah dalam membangun dirinya menjadi baik di mata masyarakat. Eksistensi ia dan komunitasnya menjadi hal yang patut diperhitungkan untuk diterima baik dalam keragaman masyarakat.

Rahasia Berbungkus Amplop Merah

 

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah

Penulis           : Tere Liye

Penerbit         : Gramedia, Jakarta

Cetakan         : I, Januari 2012

Tebal              : 507 halaman

 

 

Masih ingatkah pada Delisa yang ikut menelan kesedihan lantaran ibu dan saudara-saudaranya tertelan tsunami Aceh? Juga pada Reyhan yang menemukan kenyataan di balik pencariannya atas segala rasa kehilangannya? Masih hangat juga di ingatan kita tentang pengorbanan lahir batin seorang kakak demi pendidikan keempat adik-adiknya. Itulah sepintas cerita dalam goresan pena Tere Liye yang tertuang dalam karyanya yang menyentuh, Hafalan Surat Delisa, Rembulan Tenggelam di Wajahmu, dan Bidadari-Bidadari Surga.

Dalam novelnya kali ini, Tere Liye menggambarkan kesederhanaan cerita cinta di tengah miliaran cerita cinta yang dialami miliaran manusia. Bagaimana cara cinta itu datang, bagaimana saat cinta pergi, termasuk perjuangan dalam menggapai cinta sejati, terangkum secara sederhana dalam novel ini. Romantis, barangkali begitulah kesan setela h membaca novel ini

Borno, begitu namanya. Ia tinggal di tepian Sungai Kapuas. Ayahnya yang seorang nelayan, meninggal karena tersengat ubur-ubur. Sebelum meninggal, sang ayah rela mendonorkan jantungnya untuk orang lain. Borno kecil marah, tidak menerima kematian ayahnya ini dengan melihat dada ayahnya yang terbelah.

Selepas SMA, ia harus mencari pekerjaan demi membantu ibunya. Berbagai macam pekerjaan ia tekuni. Namu tidak ada satupun yang menggembirakan baginya dan bagi orang lain di lingkungannya. Akhirnya setelah bertimbang dengan Pak Tua, sahabat orang tuanya dan yang juga menjadi guru kehidupan baginya, Borno memutuskan untuk menjadi pengemudi sepit. Pekerjaan barunya mendapat tanggapan baik dari lingkungannya. Bahkan Bang Togar, yang ditakuti Borno, melunak hatinya. Ia mengumpulkan uang para tetangga dan membelikan Borno sebuah sepit.

Di hari pertamanya bekerja sebagai pengemudi sepit, menumpanglah seorang gadis jelita. Selepasnya Borno mengantarkan gadis itu ke tujuan, dilihatnya sebuah amplop merah di atas sepitnya persis di dekat gadis tadi duduk. Dari sinilah semua cerita berawal. Dari sepucuk amplop merah.

Diambilnya amplop itu dengan pikirnya akan mengembalikan keempunya. Tetapi dasar Borno. Dekat-dekat gadis itu saja sudah membuatnya salah tingkah hingga tak ada keberanian untuk berbicara. Jangankan menegur gadis itu, menatapnya pun ia tak sanggup. Jadilah sekian lama amplop itu urung diberikannya.

Waktu jualah yang memperkenalkan Borno dengan Mei, pemilik amplop merah itu. Dari situ jalinan kisah mereka diukirkan Tere Liye dengan sederhana. Cinta yang berjarak, Mei yang tiba-tiba menjauhi Borno, tetapi kemudian datang dan pergi lagi. Mei yang memulai, dan Mei pula yang harus menyelesaikannya. Amplop merah menjadi jawaban segala sikapnya.

Membaca novel ini tidak ingin terputus, selalu dibuat penasaran oleh kisah dalam halaman selanjutnya. Mendengar petuah cinta Pak Tua, membayangkan irama sepit yang melaju di atas Kapuas, gereget pada Borno yang diam seribu bahasa di depan Mei, pun timbul perasaan marah pada Mei yang terkesan ‘menggantung’ cinta Borno.

Lewat novel bersampul merah dengan gadis berpayung ini, Tere Liye mampu memasukkan nasehat cintanya. Bahwa cinta adalah perbuatan. Cinta  bukan kalimat gombal, cinta dalah komitmen tidak terbatas, untuk saling mendukung, untuk selalu ada, baik senang maupun duka. Kalimat demi kalimat mudah dipahami, ditambah dengan gurauan antar sahabat yang kocak nan renyah, maupun kejadian-kejadian konyol yang mampu menghibur pembaca.

Dapatkah Borno mengembalikan amplop merah tersebut pada si pemiliknya? Apa isi sebenarnya amplop merah yang sengaja ditinggalkan Mei di sepit Borno itu? Sanggupkah Borno memaafkan Mei dan keluarganya? Mampukah Borno menghadapi satpam rumah Mei yang galak? Semua terjawab secara teratur dan tak terduga dalam novel ini.

Pers, Medan Perang Ki Hajar Dewantara

 

“Andai aku seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan pesta kemerdekaan bangsaku di negeri yang rakyatnya tidak kita beri kemerdekaan. Sesuai dengan laku pikiranku itu maka sesungguhnya tidak saja tidak adil, namun tidak patut pula rakyat di negeri ini kita mintai bantuan uang guna membiayai pesta-pesta itu.” (Ki Hajar Dewantara)

Itulah sebait kalimat Ki Hajar Dewantara (KHD) yang ditulisnya dalam tulisan yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda). Tulisan yang dimuat dalam surat kabar De Express milik sahabatnya, Douwes Dekker (D.D.), itu tajam mengkritik Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis. Menurutnya sangat tidak layak jika penjajah berpesta di atas negeri jajahannya dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan mereka.

Sebagai akibat dari tulisannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan kepada KHD. Sebuah hukuman buang. Bersama dengan dua sahabatnya, D.D dan Cipto Mangunkusumo, ia meminta diasingkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913.

Masa pembuangan mengharuskan ia dan istrinya, Raden Ayu Sutartinah (kelak menjadi Nyi Hajar Dewantara) hidup seadanya. Dalam Rahardjo (2009: 16) ditulis bahwa bantuan biaya hidup dari pihak kolonial yang hanya untuk satu orang terpaksa dihemat untuk berdua. Keterbatasan ini membuat KHD harus bekerja sebagai jurnalis guru Taman Kanak-kanak guna menunjang kebutuhan hidup sekaligus menabung biaya pulang ke tanah air.

Perjuangan Lewat Tulisan

Dunia tulis-menulis memang tidak asing bagi KHD. Setelah dirinya dikeluarkan dari STOVIA kemudian bekerja menjadi analis di pabrik gula Kalibagor, Banyumas. Di situ ia mengenal dan mempelajari kehidupan buruh pabrik. Ia melihat adanya penghisapan majikan terhadap para buruh pabrik. Kemudian ia menuliskannya dalam bentuk artikel yang dikirimkannya ke surat kabar Midden Java, yang pada masa  itu terbit di Jawa Tengah. Melihat bakat menulisnya tersebut, D.D menawarinya unuk membantu memimpin majalah Her Tijdschrift dan harian De Express di Bandung. Saat itu bidang jurnalistik dan politik adalah babak baru baginya.

Di Belanda pun, saat dalam pengasingannya KHD memperdalam pengetahuannya dalam hal jurnalistik pada S. de Roode, pemimpin surat kabar De Nieuwe Groene (Tauchid, 2011:15). Sembari menunggu kepulangannya yang tertunda karena Perang Dunia I, KHD mendirikan kantor berita dengan nama Indische Persbureau di Den Haag sebagai pusat pemberitaan untuk Indonesia. Inilah kali pertama nama Indonesia dikenal dunia melalui kancah jurnalistik.

Selepas hukuman buang, kembali ia menekuni dunia jurnalistik di tanah air. Tak jera KHD kembali ke medan perang melalui tulisan-tulisannya yang mengecam kekuasaan kolonial. Sambil menyelam minum air. Barangkali itulah peribahasa yang pas bagi sepak terjang  KHD dalam kancah politik. Tauchid (2011: 17) menulis sembari menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar partai National Indische Partij (NIP), KHD tetap menerjunkan diri dalam majalah partainya dengan masuk menjadi dewan redaksi De Beweging.

Karena ketajaman pembicaraan dan tulisannya yang mengecam kekuasaan kolonial, selama di Semarang, dua kali KHD masuk penjara. Penahanannya selama 6 bulan dikarenakan pidatonya  dianggap menghina pemerintah Belanda. KHD mengatakan dalam pidatonya bahwa Mahkamah Agung (Hogerechttschoft) sebagai badan yang bukan sembarangan, yang berkewajiban melindungi keadilan dan hukum, nyatanya bahkan berbuat semau-maunya sendiri, sewenang-wenang menginjak-injak keadilan. Dalam masa tahanan, KHD harus mengalami siksaan yang berat dikumpulkan dengan penjahat-penjahat biasa (Raharjo, 2009).

Penahanan selama 3 bulan dijatuhi kepada KHD pada Agustus 1920 karena kepedasan kritiknya di surat-surat kabar yang ditujukan Pemerintah Belanda. Untuk pertama kalinya pers-delict (ranjau pers) di Indonesia dikenakan kepada KHD. Bagi KHD, tidak ada yang perlu ditakuti dalam menyampaikan kritik kepada orang lain. Khususnya bagi pemerintah kolonial. Baginya kritik melalui tulisan merupakan alat perjuangan dalam menentang penindasan yang dilakukan Belanda.

Ada sebuah peran yang coba disematkan KHD lewat kewartawanan. KHD yang lekat dengan pendidikan mencoba menggunakan media massa untuk berperan dalam pencerdasan masyarakat. Pada Oktober 1928 terbitlah majalah pendidikan Wasita. Majalah yang diterbitkan oleh Tamansiswa Yogyakarta ini mengusung citra sebagai majalah untuk kaum pendidik dan orang tua dengan tujuannya untuk memberikan informasi kepada orang-orang yang bergelut dalam bidang pendidikan dan orang tua yang memiliki anak-anak usia sekolah.

Dalam  majalah ini KHD banyak menuliskan gagasannya tentang pengajaran dan pendidikan. Logika berpikirnya relatif sederhana: jika rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas sehingga keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi. Gagasan-gagasan yang ia tulis seakan mampu menjadi pencerah bagi masyarakat pribumi untuk bergerak melepaskan diri dari ketertinggalan dan ketertindasan. Dengan demikian, media massa memiliki kekuatan penyemangat bagi masyarakat untuk melakukan hal-hal yang berguna. Hal ini jelas menunjukkan kuatnya cita-cita kemerdekaan atau pemerintahan sendiri dari redaksi Wasita yang salah satunya adalah KHD (Rahardjo, 2009:30). Begitulah KHD, berjuang lewat tulisan untuk mengupayakan kemerdekaan bagi negeri yang dicintainya. Tulisannya yang tajam menggelitik pemerintah Belanda, gagasan-gagasannya yang mampu membangkitkan semangat pergerakan nasional. Atas jasanya itu, dua hari setelah KHD wafat, tepatnya 28 April 1959, ia diangkat menjadi Ketua Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) secara anumerta.

Bebas Bertanggungjawab

Keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan kolonial membuktikan bahwa KHD menginginkan adanya kebebasan diri. Prinsip kemerdekaan diri menurutnya merupakan hal utama dalam mencapai cita-cita hidup salam bahagia dan masyarakat tertib-damai. Prinsip KHD inilah yang sampai saat ini terus diamalkan dalam asas Tamansiswa. Melalui tulisan-tulisannya ia mengajarkan tentang kemerdekaan diri dalam mengemukakan pendapat.

Bagi KHD, tulis Sugiarto (2008: 11) pers bukanlah alat pemerintah, tetapi lebih sebagai suatu cara untuk mengemukakan bukti-bukti serta pendapat. Memandang setiap orang bebas untuk memberikan pendapat mengenai pers dan juga memiliki hak untuk berbicara melalui pers. Menurut KHD, kebebasan diri menjadi senjata yang kuat untuk berjuang, menanamkan rasa harga diri pada bangsa yang dijajah untuk mencapai kemerdekaannya.

Kebebasan yang ditanamkan KHD dilandasi dengan tanggung jawab yang secara sadar dilaksanakan. Sebagai rasa tanggung jawab atas kritikannya, KHD rela mendapat kecaman dari pemerintah Belanda, menghadapi hukuman buang dan tahanan. Hal ini yang coba ingin ditunjukkan KHD. Dalam dunia jurnalistik, tidak ada yang salah. Tidak ada pembungkaman yang mematikan pemikiran orang. Kebebasan dan kemerdekaan adalah hak tiap-tiap orang, untuk mencapai hidup yang selamat lagi bahagia. Namun, kemerdekaan diri seseorang harus mengakui hak kemerdekaan orang lain. Tidak boleh kita menindas perasaan orang lain. “Dan yang demikian itu aku tidak suka dan memang tidak boleh. Sebab seandainya aku orang Belanda, aku tidak akan melukai perasaan rakyat Indonesia,” lanjut KHD dalam tulisannya Seandainya Aku Seorang Belanda.

 

Sumber :

Ki Sutikno & Ki Sunarno HD. 2011. Ketamansiswaan untuk Pamong, Karyawan, dan Mahasiswa. Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa: Yogyakarta.

Rahardjo, Suparto. 2009. Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959. Garasi:Yogyakarta.

Sugiarto, Ryan. 2008. Mengenal Pers Indonesia. Pustaka Insan Madani: Yogyakarta.

Tauchid, Muchammad. 2011. Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara. Majelis Luhur Taman Siswa: Yogyakarta.