Sentilan Politik dalam Genre Sastra yang Apik

 

“Suara hati Ki Jaga Baya semakin yakin, seakan mantab menata masa depan dan semakin yakin bahwa yang dilakukan bukan demi kepentingannya sendiri tetapi demi kepentingan kerajaan, demi kepentingan masa depan rakyat di negeri Antah Berantah.”

 

Itulah sepenggal teks dari cerita pendek yang berjudul Tahta. Cerpen ini adalah satu dari karya Pranowo, kini guru besar Universitas Sanata Dharma (USD), yang termuat dalam antologi cerpen Tahta dan Sang Hyang Kucing terbitan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST). Tahta  memuat cerita Ki Jaga Baya, bawahan Ki Demang Jaga Menir, yang berpendapat bahwa penguasa negeri Antah Berantah sudah sepatutnya digantikan. Pergantian tersebut didasari oleh fakta bahwa Sang Penguasa sudah tidak mampu menjadi penyalur aspirasi rakyat. Telah banyak pula generasi baru yang lebih mumpuni untuk menggantikan kepemimpinannya.

Cerpen lain yang juga berkisah tentang seorang penguasa adalah Sang Hyang Kucing, karya Wahyana Giri, seorang pegiat teater Yogyakarta. Giri mengisahkan Sang Majikan Waru Doyong, sebuah kebun binatang “mapan”, yang kini tengah dililit nafsu. Sang Majikan diketahui telah melakukan penyelewengan konsumsi satwa di kebun binatang itu. Ia juga yang menyunat jatah daging untuk makan para penghuni Waru Doyong. Demonstrasi tidak dapat dibendung. Maka sesuai dengan saran Sang Hyang Kucing, pemimpin keamanan Waru Doyong kepercayaan sang Majikan, diberlakukanlah Normalisasi Kehidupan Kucing. Dengan demikian para kucing-kucing tidak lagi mengeong tentang segala tuntutannya.

Penuturan kisah dalam cerpen-cerpen tersebut cukup menjadi bukti bahwa cerita ini merupakan bentuk sentilan terhadap pemerintahan pada zamannya. Keduanya ditulis pengarang di tahun yang sama, tahun 1988, di mana saat itu stabilitas politik negara ini memang sedang dalam ketidakpastian. Di tahun kepemimpinan Soeharto yang ke-20 itu, regenerasi kepemimpinan mulai dipertanyakan. Kemudian untuk membekukan aktivis di era itu, diberlakukanlah Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Sesaat NKK cukup ampuh untuk mengamankan Sang Penguasa dari tahtanya.

Kisah dalam cerpen Tahta dan Sang Hyang Kucing hanyalah dua contoh cerita yang coba dituturkan pengarang lewat imajinasinya. Tentunya, imajinasi logis tentang sebuah kondisi sosial, ekonomi, bahkan juga politik yang nyata terjadi. Inilah yang tampaknya ingin dimunculkan oleh LPM Pendapa dalam buku kumpulan cerpennya. “Tidak ada tema khusus dalam buku ini. Hanya saja cerpen yang dimuat mewakili kondisi bangsa sebelum reformasi, saat reformasi, dan pascareformasi,” jelas Desi Sri Rahayu, editor Kumpulan Cerpen Tahta dan Sang Hyang Kucing.

Gambar 

Kumpulan Cerpen Majalah Pendapa “Tahta dan Sang Hyang Kucing” yang diterbitkan oleh LPM Pendapa tahun 2013. Foto oleh Ika H.

Buku kumpulan cerpen ini merupakan buku kedua terbitan LPM Pendapa setelah Jogja Dalam Keistimewaan. Adapun tujuan diterbitkannya buku kumpulan cerpen ini yakni untuk memublikasikan cerpen yang pernah termuat dalam majalah Pendapa. Judul buku diambil dari dua buah judul cerpen yaitu Tahta dan Sang Hyang Kucing.

 Taofiq, Pimpinan Umum LPM Pendapa menjelaskan bahwa kedua judul tersebut diambil karena cukup menggambarkan situasi dan kondisi bangsa tentang pergulatan kekuasaan. “Tahta itu mengarah ke kekuasaan. Sang Hyang Kucing menandakan pemimpin yang akhirnya jatuh,” ungkapnya.

Desi dan kawan-kawan harus mengumpulkan kembali arsip-arsip cerpen dari tahun 1988, tahun awal terbit Majalah Pendapa, hingga tahun terbit 2011. Pengumpulan kembali arsip-arsip tersebut sekaligus menjadi kendala bagi mereka. Apalagi beberapa majalah tidak ditemukan arsipnya. “Kami sampai harus pinjam ke alumni, seperti Mas Wahyana Giri untuk kami ketik lagi cerpennya,” ungkap Desi. Kendala ini cukup menyulitkan sehingga agenda penerbitan antologi cerpen yang seharusnya terbit di tahun 2011 menjadi molor dua tahun lamanya.

Dalam waktu enam bulan, akhirnya Desi dan kawan-kawan mampu merampungkan antologi cerpen ini di akhir tahun 2013. Dua puluh lima buah judul cerpen yang disusunnya menjadi persembahan indah LPM Pendapa yang juga menginjak usia ke-25 pada 2013 lalu. Cerpen-cerpen yang masuk sebagian besar ditulis oleh anggota Pendapa sendiri. Meski demikian ada juga cerpen yang ditulis oleh Pranowo, yang kala itu masih menjabat sebagai dosen UST, dan juga Ety Syarifah, seorang guru dari SMAN 1 Muntilan.

Animo menulis rendah

Kumpulan cerpen ini bukanlah rencana akhir bagi Desi, Taofiq, dan kawan-kawan LPM Pendapa lainnya. Desi mengatakan bahwa LPM Pendapa berencana untuk menerbitkan buku kembali. “Inginnya yang menulis kawan-kawan dari LPM Pendapa sendiri dan bukunya tematik,” jelasnya.

Namun, keinginan Desi masih terhalang dengan minimnya partisipasi dari kawan-kawannya. Ia mengaku mahasiswa UST masih apatis sehingga kurang tergerak untuk menghidupi pers kampus. Desi, yang sudah empat tahun menjadi mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UST, berpendapat bahwa jiwa kritis dan kesadaran akan lingkungan sekitar masih jauh dimiliki teman-teman sesama mahasiswa di kampusnya.

Ahmad Mustaqim, alumni LPM Pendapa yang ditemui di sekretariat LPM Pendapa Jalan Batikan No. 02 Komplek Perpustakaan Pusat UST, menuturkan hal yang sama. Menurutnya budaya literasi di UST jauh berbeda dengan kampus lain. “Di kampus UST kurang antusias untuk menulis. Dosen juga jarang menulis di luar,” tambahnya. Hal ini juga yang membuat kawan-kawan LPM Pendapa mengalami kesulitan untuk menentukan siapa yang cocok untuk menulis kata pengantar dalam Tahta dan Sang Hyang Kucing. Namun akhirnya dipilihlah Satmoko Budi Santoso, cerpenis dari luar lingkungan UST.

Meski demikian, Mas Qim, panggilan akrab Ahmad Mustaqim, tetap optimis LPM Pendapa dapat menggerakkan budaya menulis bagi mahasiswa UST. Oleh karena itu, LPM Pendapa sangat terbuka bagi mahasiswa maupun dosen yang ingin menyumbangkan karyanya di majalah Pendapa. “Redaksi mempersiapkan rubrik opini ataupun cerpen untuk diisi oleh non anggota LPM,” jelasnya.

Akhirnya, kumpulan cerpen yang berhasil diterbitkan oleh LPM Pendapa telah membuktikan bahwa pers kampus tidak selalu sarat akan berita-berita politik saja. LPM Pendapa telah mampu menjadi sarana penyalur aspirasi dalam bentuk tulisan bergenre sastra yang segar dan ekspresif. Santai, indah, namun tidak keluar dari permasalahan sosial yang kini jamak terjadi.